Dalam sejarah peradaban manusia, uang merupakan instrumen yang digunakan sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli. Sama halnya dengan peradaban manusia itu sendiri, uang juga mengalami perkembangan. Dari awalnya yang hanya berupa uang logam dan kertas, kini masyarakat dunia pun dihadapkan dengan kehadiran mata uang kripto. Namun, kehadiran kripto sendiri bukannya tidak disertai dengan pro dan kontra. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum Indonesia memandang mata uang kripto? Apakah legalitas mata uang kripto di Indonesia sudah terpenuhi? Apakah di Indonesia, masyarakat dapat memperjualbelikan mata uang kripto sekaligus menggunakannya sebagai alat pembayaran?
Legalitas Mata Uang Kripto: Berawal dari Uang Konvensional
Saat ini sendiri kita mengenal 3 jenis umum uang yang beredar di tengah masyarakat. Ketiga jenis uang tersebut adalah uang kuasi, giral, dan kartal. Sementara khusus di wilayah Indonesia, jenis uang giral maupun kartal adalah dua jenis uang yang memiliki tingkat peredaran paling tinggi di tengah masyarakat. Mengingat pentingnya fungsi uang, seluruh negara di dunia biasanya menetapkan lembaga tertentu untuk memproduksi dan mengedarkan uang. Di Indonesia, tugas ini dipercayakan kepada Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Selain dalam bentuk fisik, uang juga dapat ditemukan dalam bentuk digital. Saat ini sendiri, terdapat 2 jenis digital. Kedua jenis tersebut adalah uang digital yang nilainya berdasarkan pada uang fisik serta uang digital yang penyimpanannya melibatkan dompet digital. Di Indonesia, misalnya, terdapat beberapa jenis uang digital seperti ini mulai dari OVO, DANA, LinkAja, dan lain sebagainya.
Seiring perkembangan waktu dan teknologi, uang juga mengalami perkembangan. Salah satu di antaranya adalah mata uang kripto atau yang juga dikenal dengan istilah cryptocurrency. Popularitas mata uang kripto sendiri cukup tinggi mengingat tingkat efisiensi, keamanan, hingga efektivitasnya serta aplikasinya yang mencakup begitu banyak bidang kehidupan, mulai dari aktivitas ekonomi, kontrak pintar, dan lain sebagainya.
Legalitas Mata Uang Kripto di Indonesia
Sebagai sebuah negara di tengah kancah global, praktis masyarakat Indonesia juga mulai mengenal mata uang kripto. Meski demikian, mengingat produk ini kerap dijadikan obyek perdagangan, diperlukan kepastian hukum sebagai landasan bagi setiap kalangan untuk melakukan transaksi yang melibatkan mata uang kripto.
Setidaknya hingga saat ini, terdapat 3 peraturan yang dapat dikaitkan dengan aktivitas terkait mata uang kripto di Indonesia. Ketiga peraturan tersebut adalah Undang-undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Peraturan Bank Indonesia No, 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik, serta Surat Menteri Koordinator Perekonomian Nomor S-302/M.EKON/09/2018.
Pada peraturan pertama, mata uang didefinisikan sebagai uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah. Dengan demikian, undang-undang ini menegaskan bahwa satu-satunya mata uang yang berlaku di Indonesia adalah Rupiah, bukan produk lain. Sementara itu, peraturan kedua, yakni Peraturan Bank Indonesia NO. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik, menegaskan bahwa uang elektronik didefinisikan sebagain alat pembayaran yang harus memenuhi 3 unsur. Ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut.
- Uang elektronik harus diterbitkan berdasarkan nilai uang yang telah melalui penyetoran kepada pihak penerbit terlebih dahulu.
- Nilai uang elektronik disimpan pada media elektronik dalam suatu jaringan atau chip.
- Nilai uang elektronik yang berada dalam pengelolaan pihak penerbit bukan berfungsi sebagai simpanan pemiliknya, seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang yang secara khusus mengatur perihal perbankan.
Jika ditarik garis besar, kedua peraturan ini menegaskan bahwa mata uang kripto diakui sebagai mata uang, meski bukan mata uang yang sah berlaku di Indonesia. Selain itu, kedua peraturan tersebut mengakui mata uang kripto memiliki nilai tukar seturut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, walau bukan termasuk kategori uang elektronik. Dengan demikian, pihak pemerintah Indonesia maupun Bank Indonesia tidak serta merta melarang penggunaan mata uang kripto asalkan tidak dilakukan sebagai alat pembayaran. Selain itu, seluruh pihak yang terlibat dalam aktivitas transaksi tersebut juga harus menanggung seluruh akibat yang dapat muncul akibat aktivitas transaksi yang dimaksud.
Hal ini kemudian ditegaskan kembali pada peraturan ketiga. Dalam Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. S-302/M.EKON/09/2018, aset kripto dilarang untuk digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Meski demikian, aset ini dapaat digunakan sebagai instrumen investasi. Adapun kategori yang dikenakan pada aset kripto adalah komoditi yang dapat diperjualbelikan di bursa berjangka. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan potensi nilai transaksi yang besar dari dunia aset kripto. Oleh karena itu, tindakan pelarangan total justru dianggap akan berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini karena tindakan pelarangan terhadap mata uang kripto dapat berdampak pada arus keluar dana investasi atau capital outflow. Hal ini disebabkan perilaku masyarakat yang akan mencoba pasar luar negeri yang mengizinkan transaksi menggunakan aset kripto.
Pandangan Lembaga Lain
Lembaga lain yang baru-baru ini mengeluarkan pandangan perihal mata uang kripto adalah Majelis Ulama Indonesia atau MUI. Dalam forum Ijtima Ulama yang diselenggarakan pada bulan November silam, pihak Mui menegaskan bahwa peserta musyawarah bersepakat untuk menetapkan hukum haram atas penggunaan aset kripto di Indonesia sebagai mata uang. Keputusan ini diambil karena menganggap aset kripto memiliki sifat dharar, gharar, serta melawan hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya Undang-undang No. 7 tahun 2019 serta Peraturan Bank Indonesia No, 17 Tahun 2015.
Pihak Mui juga menyatakan bahwa aset kripto juga tidak dapat dipergunakan sebagai aset atau komoditas digital dan sifatnya ilegal untuk diperjualbelikan. Pihak MUI mengambil pandangan ini karena menganggap aset kripto mengandung sifat qimar, dharar, serta gharar. Di samping itu, keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan sifat mata uang kripto yang tidak memiliki bentuk fisik, mengandung nilai, memiliki jumlah dalam peredaran yang pasti, dapat dimiliki, serta dapat beralih kepemilikan ke pihak pembeli. Walau demikian, pihaknya menegaskan bahwa keputusan aset kripto dianggap ilegal dan haram hanya terbatas pada parameter-parameter tersebut. Dengan kata lain, apabila di masa depan terdapat mata uang kripto yang mampu memenuhi kriteria-kriteria tersebut, maka bukan tidak mungkin pelarangan tersebut akan dicabut.
Dengan kata lain, di Indonesia, mata uang kripto tetap diakui secara legal dan mendapatkan dasar serta kepastian hukum. Namun, penggunaannya hanya bisa dibatasi sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Para pemilik mata uang kripto tidak dapat menggunakan aset ini sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Meski demikian, setiap aset yang dimiliki dapat diperjualbelikan layaknya ketika aktivitas perdagangan yang melibatkan barang maupun jasa. Di luar koridor ini, maka seluruh penggunaan mata uang kripto akan dianggap ilegal. Tak hanya itu, seluruh pihak yang terlibat dengan aktivitas tersebut bukan tidak mungkin justru akan terlibat dengan kasus hukum sebagaimana yang berlaku di Indonesia.